Dari hasil paruman desa, tercetuslah untuk kembali melaksanakan ritual memohon turun hujan di desa mereka yakni Gebug Ende. Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya. Kemungkinan,untuk mengingat yakni seraya ini.Gebug Ende hanya dimainkan kaum pria baik dewasa maupun anak - anak.Gebug Ende berasal dari kata gebug dan ende.
Gebug artinya adalah memukul dan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 hingga 2 meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran.Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini.
Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende. Seperti biasa setiap pelaksanaan gebug ende, masyarakat selalu memadati areal lapangan desa untuk menyaksikan dari dekat permainan yang ini. Anak-anak hingga dewasa tampak bersuka ria menanti permaianan ini. Menariknya atraksi ini memberikan membuat penonton pun dari luar desa datang meramaikannya.
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan areal ini disesuaikan degan kondisi areal saja.
Sementara Untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali.Para juru banten pun melakukan ritual permohonan berkat agar permaianan gebug ende ini dapat memberikan keberhasilan dan kemakmuran bagi krama seraya.
Setelah persiapan rampung akhirnya permainan pun segera dilangsungkan. pembukaan diawali dengan ucapan selamat datang bagi para pemain dan penonton. Selain ituterselip juga pembekalan bagi pemain utnuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportivitas. Suara tetabuhan menyemarakkan permainan. Seorang wasit yang disebut Saya (baca: saye) Memimpin pertandingan. Mereka inilah yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.
Di tengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Kali pertama diawali dengan kelompok anak anak.Tidak tampak rasa ketakutan pada tubuh kecil itu. Ende dan Rotan pun ditarikan. Riuh penonton memberikan semangat kepada mereka untuk memainkannya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya bekas cambukan rotan apabila tergores di badan.Usai kelompok anak anak, tibalah giliran pria dewasa. Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan gebug ende ini. Yang ada hanya kerasnya pukulan dan tangkisan. Rotanpun menghujam tubuh lawan namun tangkisan dari tamiang pun semakin kuat.
Pukulan dan Tangkisan berlangsung sangat cepat.Sorak penonton semakin menyemangati nurani tersebut. Disini saye mengawasi permainan harus sigap untuk segera melerai pemain.Nah..selain krama desa Seraya bagi warga lain yang berminat dapat menjadi pemain.Dipercaya hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Tidak ada waktu khusus untuk menentukan selesainya pertandingan ini. Namun permainan dapat usai bilamana satu pemain terdesak.
Menurut Bendesa Pekraman Seraya, selain melestarikan tradisi turun temurun gebug ende adalah sebuah tarian suka cita penduduk desa seraya bertujuan memohon hujan kepada Pencipta Alam ini.Selain itu unsur olahraga sangat ditekankan dalam permaianan ini yakni kekuatan fisik untuk melakukan pukulan dan tangkisa. Sebagai sebuah permainan tradisonal Gebug ende telah dikenal hingga mancanegara. Pelestariannya pun harus dilakukan secara sinergi.
Rai Parwati