Selamat Datang

Translate

Pengunjung

"Warung Pojok"

Pengikut

28 April 2009

Tari Bali

Seni tari bagi masyarakat Bali memang tak bisa dipisahkan. Tarian Bali, seperti Legong, Janger, Baris, Kecak, adalah tarian yang disakralkan dan mengalami masa jaya pada tahun 1930.Bagi masyarakat Bali tarian tidak bisa dipisahkan dari setiap kegiatan keagamaan, namun dengan anggapan seperti ini bukan berarti setiap orang Bali bisa menari. Ada yang memang lahir mempunyai bakat ini, biasanya juga bapak dan ibu ataupun kakeknya dulu juga penari.


Sering dikatakan oleh para pakar seni budaya bahwa seni dan budaya Bali cenderung diciptakan sebagai suatu persembahan kepada maha pencipta diwarnai dengan rasa pengabdian yang tinggi terhadap seni tersebut. Jika suatu karya seni tradisional mampu menimbulkan getaran taksu atau memancarkan daya tarik maka hal itu bisa dipahami karena saat menciptakannya didorong oleh keinginan untuk mempersembahkan karya yang baik, jauh dari pikiran ego hak cipta dan nilai jual.

Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan. Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata disaat upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan sajen sebagai media untuk menyambung komunikasi spiritual sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan untuk mengungkapkan puja dan puji atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh para Dewata.

Masyarakat Bali, selain pelaku seni, juga adalah penikmat seni yang amat fanatik pada keseniannya. Dalam seni teater, berbagai lakon yang melandasi penciptaan seni dikemas dengan baik sehingga mudah dinikmati dan disimak untuk mengisi wawasan berpikir mereka. Para pemimpin di maSa lalu pun sigap melihat kegiatan seni sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kepada rakyat. Tak ayal seni sastra berkembang pesat memberi arah tujuan yang jelas kepada cabang seni lainnya. Karenanya, hampir di semua cabang seni, kemudian terjadi pemilahan secara jelas antara seni sakral hingga ke profan, dan seni persembahan ke seni pertunjukan.

Seni budaya Bali, sejak jaman sejarah, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan keseharian masyarakat Bali. Ketika jaman kekuasaan raja-raja amat kuat, berbagai cabang seni budaya merupakan kelangenan raja dan keluarga istana. Saat pola pemerintahan dan kehidupan rakyat Bali semakin mantap pada dasar filosofi agama Hindu, seni budaya Bali pun bergeser ke arah seni persembahan.

Dalam berbagai format keseharian penduduk Bali, seni budayanya senantiasa menandai jaman. Tak terpungkiri, pada akhrnya, seni budaya Bali mampu meredam dan mampu tetap tumbuh dalam berbagai gejolak jaman. Pada jaman penjajahan Belanda sekali pun, seni budaya Bali tetap tumbuh mengikuti jaman. Arsitektur, seni rupa, seni tari, seni karawitan dan berbagai cabang seni lainnya seolah tak luput dengan adanya perang Puputan di Badung, Klungkung dan Margarana di Kabupaten Tabanan.

Seni arsitektur Bali dengan ramah menenima pengaruh estetika luar. Bale Maskerdan di Puri Karangasem, Patra Wolanda, Patra Gina, dan Patra Kuta Mesir adalah bentuk-bentuk ornamen luar yang secara manis diserap oleh para undagi. Seni tari, seni karawitan dan seni rupa bahkan dikenal uleh dunia luar pada masa-masa penjajahan Belanda di Bali.

Saat kontak dengan bangsa asing di Bali memasuki era pariwisata di pertengahan dasa warsa 1960, secara pelan tapi pasti berbagai sarana hiburan wisatawan mulai ditampilkan untuk kepentingan pariwisata. Seni budaya Bali pun dikembangkan dan di redesign lagi untuk kepentingan pariwisata. Kemasan seni pentas (tari dan karawitan), tak lagi mengacu pada pesan dan cerita yang hendak disampaikan namun bergeser pada kemasan yang berpacu dengan waktu.

Seni Tari di Bali berkaitan erat dengan prosesi keagamaan. Bahkan layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan tatanan agama Hindu. Dewa Ciwa yang dipercaya oleh umat Hindu sebagai Sang Hyang Tunggal digambarkan pula sebagai. “Dewa Tari” dengan gelar Ciwa Nataraja dalam sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan kekuatan mengisi ruang saat menciptakan alam semesta.

Pada awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari) adalah jenis tarian sakral sebagai bagian tak tenpisahkan dengan prosesi upacara dan hanya dipegelarkan tatkala diselenggarakan upacara keagamaan di Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan pelengkap suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi media komunikasi masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.

Dari jenis dan fungsinya; seni tari dalam arti luas berikut seni karawitan (gamelan) yang mengiringinya dapat dipilah dalam 3 kelompok. yaitu:

Tari Wali (Religius)
Merupakan jenis tari berikut karawitan yang dipentaskan sehubungan dengan dilaksanakan suatu upacara keagamaan di suatu Pura. Tari Wali/sacral ini umumnya dipentaskan di halaman tengah Pura (Jeroan/Purian) dan tidak akan dipentaskan pada acara-acara lainnya. Perangkat tari sepenti busana, topeng atau juga barong sangat dikeramatkan oleh warga penyungsungnya senta disimpan di suatu Pura sehingga dipersyaratkan adanya upacara khusus saat diambil dari tempat penyimpanannya, saat ditarikan serta di simpan kembali pada tempatnya.

Salah satu contohnya adalah Tari Topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng yang ada di Desa Ketewel, Gianyar. Topeng-topeng yang menggambarkan wajah wanita ini membuatnya di juluki Topeng Widyadari. Tarian ini hanya dipentaskan setiap 6 bulan sekali oleh anak-anak wanita saat upacara pada Budha Wage Pagerwesi. Berbeda dengan topeng pada umumnya di Bali yang menggunakan tali pengikat di kepala saat digunakan, topeng Sang Hyang menggunakan canggem sebagai penahan yang harus digigit oleh penarinya harus menggunakan selembar kain ditangan kanannya untuk membantu memperbaiki posisi topeng saat menari jika diperlukan.
Jika tari Topeng Sang Hyang ditarikan oleh anak-anak (belum menstruasi), di Pura Samuan Tiga Bedulu-Gianyar saat diselenggarakan upacara selalu digelar tari sutri atau tari Rejang yang ditarikan oleh para Sutri, yaitu wanita- wanita tua yang sudah lanjut usia yang tidak lagi mengalami menstruasi (monopouse). Dari dua contoh diatas tergambar bahwa tari sakral tidak saja mensyaratkan tempat dan perangkat yang suci namun juga penarinya.

Tari Bebali (Ceremonial)
Tari Bebali merupakan jenis tari Bali yang juga digelar pada suatu upacara keagamaan dan umumnya tari Bebali dipentaskan dengan suatu lakon yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Tari Topeng Pajegan, Topeng Panca, Drama Tari Gambuh dan Wayang misalnya, adalah jenis tari Bebali yang paling sering dipentaskan. Sebagai pengiring suatu upacara. Tari Bebali biasanya dipentaskan di Jaba Tengah yang merupakan ruang diantara halaman luar (Jaba Sisi) dengan halaman utama (Jeroan) suatu Pura.

Tari Balih-balihan (performance)
Seni Balih-balihan merupakan perkembangan dari seni Wali dan Bebali yang ditujukan sebagai sarana hiburan dengan lakon serta kreasi tari dan tabuh yang lebih bebas. Seringkali jenis balih-balihan ini memakai lakon-lakon yang populer di masyarakat saat itu untuk membuka kesempatan masuknya emosi penonton kedalam pergelaran tersebut merupakan bagian yang sama pentingnya dengan penari dan penabuh pada biasa disebut wewalen. Sama halnya dengan tari, karawitan pun memiliki tingkatan sakral hingga profan yang menentukan fungsinya dalam pementasan.
sewamobil.com

Jalan Pintas

Mengenai Saya

Foto Saya
Terlahir dan belajar seni dipulau yang dikenal dengan seni dan pariwisata budaya,BALI

Serba Serbi Bali

 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra Modifications by endro
fixedbanner